Purwakarta || BI ~ Bukan Wacana dan sudah menjadi rahasia umum dari sebuah kenyataan bahwa mutu pendidikan di Indonesia tertinggal ketimbang negara negara lain di kawasan Asia tenggara. Hal ini salah satu faktornya adalah rendahnya kemampuan kualitas yang dimiliki oleh tenaga pendidik yang ada.
Guru merupakan subyek dalam keseluruhan proses pendidikan. Begitu besar peran guru, hingga bapak pendiri Vietnam (Ho Chi Minh) menyampaikan,” tidak ada pendidikan tanpa guru, tidak ada pembangunan sosial dan ekonomi tanpa pendidikan.”.
Pada umumnya mayoritas guru juga tidak mengupdate kemampuannya, yang menyebabkan penguasaan materi dan keterampilan mengajar tidak berkembang, padahal dunia ilmu pengetahuan dan; informasi terus mengalami perubahan seiring kebutuhan tuntutan zaman.
Begitupun secara sosial pamor guru guru (Tenaga pendidik/Fungsional) khususnya tenaga pengajar yang masih honorer baik disekolah negri maupun swasta yang notabene sudah mempunyai jam terbang yang lama semakin redup, sebab bila mengandalkan penghasilannya.
Sebagai seorang guru honor di sekolah negeri ataupun swasta, yang sudah pesimis untuk mendapatkan kesetaraan kesejahteraan dengan pegawai Guru ASN, diman disamping mendapatkan gaji pokok juga mendapatkan tunjangan sertifikasi yang nilainya setara dengan gaji pokok, dan hal ini mustahil seorang guru tersebut bisa hidup layak ditengah kehidupan masyarakat saat ini.
Tidak mengherankan banyak guru honor yang masih mengandalkan dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang kisarannya masih ada yang dikasih honor 100 ribu hingga 1 juta, (masih jauh dibawah UMK) begitupun tenaga honor yang sudah sertifikasi, inpasing khususnya di sekolah swasta, yang tidak ada kenaikan pangkat jabatan dan golongan selama bertahun tahun yang honornya untuk guru sertifikasi dikisaran 1,5 juta dan untuk guru inpasing Gol III kisaran 2,5 juta, (dibawah UMR), dan pencariannya pun tidak tentu waktunya, maka hal itu terpaksa mencari pekerjaan tambahan alias nyambi, mulai jadi pendamping desa, tenaga sosial, pedagang, tukang ojek, jadi wartawan, pemulung, jadi calo, buru tani, tukang bangunan dan ada pula yang jadi aparat Desa, hanya sekedar untuk bisa memenuhi kebutuhan tuntutan hidupnya.
Sehingga dapat dipahami dan dimengerti bagaimana seorang guru tersebut menjalankan tugas secara profesional kalau masih dibebani urusan kebutuhan “perut dan kebutuhan standar lainnya”.?.
Bagaimana mungkin seorang guru bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara tenang, nyaman kalau harus terus memikirkan kebutuhan dalam keluarganya, seperti halnya ketika ada yang sakit akibat minimnya jaminan kesehatan atau tidak ada jaminan sama sekali.
Sungguh tidak dikatakan berlebihan jika pada akhirnya mutu pendidikan hanya “jalan ditempat”, sementara keberadaan tenaga pendidik dalam kondisi memperihatinkan, “hidup segan matipun tak mau”.
(Saepul Bahri, S.Ag)