POLEMIK PERMENKUMHAM NOMOR 10 TAHUN 2020 DAN OVERKAPASITAS
Kita ketahui bersama Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan terkait pemberian program Asimilasi dan Re Interasi melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dalam rangka pencegahan dan penanggulagan penyebaran Covid-19 yang saat ini masih mendapatkan pertentangan dibeberapa kalangan masyarakat. Masyarakat tersebut berpandangan bahwa kebijakan itu merupakan sebuah kekeliruan, karna di dalam lapas/rutan para narapidana seolah sedang dikarantina dan mendukung program pemerintah untuk berdiam diri dirumah.
Sebenarnya program asimilasi dan re-integrasi bukanlah sesuatu yang baru melaikan program yang sudah berjalan lama sebelum permasalahan Covid-19 terjadi di negara Indonesia. Dapat kita lihat bersama pada Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cata Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat mengenai syarat pemberian asimilasi tidak berbeda dengan yang ada pada Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 tentang Syarat Pemberiaan Asimilasi Dan Hak Integrasi Bagi Narapidana Dan Anak Dalam Rangka Pencegahan Dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Perbedaan yang mendasar sebenarnya hanya pada pelaksanaan program Asimilasi tersebut yang dimana berdasarkan Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 program asimilasi dilaksanakan di rumah, hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah untuk melaksanakan sosial distancing. Tidak hanya itu, pelaksanaan program asimilasi pun turut diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang dimana memiliki tugas untuk melakukan pengawasan dan pembimbingan.
Maka kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap tujuan akhir dari program Asimilasi yaitu setiap warga binaan pemasyarakatan dapat berbaur kembali dengan masyarakat dan memiliki keterampilan . Walaupun ada kasus dimana narapidana yang mendapatkan program asimilasi dirumah melakukan tindak pidana baru ataupun mengulangi tindak pidana yang sama. Namun dari begitu banyak yang mendapatkan program hanya beberapa narapidana saja yang melakukan dan hal ini tidak bisa menjadi indikator bahwa Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 keliru atau gagal.
Tentang Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020 banyak yang beranggapan dikeluarkan hanya untuk mengatasi permasalahan yang selama ini menjadi polemik di Pemasyarakatan tentang Overkapasitas dengan memanfaatkan permasalahan Covid-19. Dalam Sistem database Pemasyarakatan , narapidana dan tahanan saat ini berjumlah 237.983 per tanggal 9 April 2020 sedangkan kapasitas lapas dan rutan di Indonesia hanya 132.107. Dari angka tersebut jumlah narapidana ada 174.080 sedangkan narapidana yang telah mendapatkan program asimilasi dan re-integrasi sebanyak 35.676 per 8 April 2020 (https://www.republika.id/posts/5829/napi-bebas-lampaui-target).
Melihat data tersebut maka tidak dapat dikatakan bahwa kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan Overkapasitas semata. Berbicara tentang permasalahan overkapasitas yang terjadi di pemasyarakatan harus dicari akar permasalahannya. Hal ini tentu dapat kita lihat dari bagaimana sistem peradilan pidana di negara Indonesia baik dari segi aturan, aparat penegak hukum hingga hingga dukungan dari pemerintah daerah dan masyarakat dikarenakan pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari sistem tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penjara masih menjadi pidana pokok. Hal ini menyebabkan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa yang diatur dalam KUHP maka ia akan mendapatkan hukuman penjara. Walaupun ada beberapa aturan khusus yang memberikan hukuman alternatif lain, namun hal ini tidak terlalu terasa dampaknya positifnya untuk mengurangi permasalahan overkapasitas. Berbeda dengan Rancangan KUHP yang sampai saat ini masih belum bisa disahkan, padahal dalam rancangan tersebut telah diterapkan pidana pokok secara alternatif dan pidana penjara merupakan upaya terakhir yang diberikan.
Dari segi aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan memiliki peran masing-masing didalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan hingga pemasyarakatan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Sangat jelas dalam undang-undang tersebut, bahwa pemasyarakatan merupakan akhir dari sistem pemidanaan, sehingga permasalahan overkapasitas tidak bisa dikatakan hanya permasalahan di lembaga pemasyarakatan, namun ini merupakan permasalahan yang terjadi akibat sistem peradilan pidana di Indonesia.
Tugas pemasyarakatan hanya melakukan pembinaan dan pembimbingan dengan harapan warga binaan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Pemasyarakatan tidak melakukan penyidikan, penuntutan dan tidak memutus hukuman.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dalam rangka pencegahan dan penanggulagan penyebaran Covid-19 dan juga Kepmenkumham No. M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan tentang pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan intergrasi, maka dititik ini program pembimbingan diharapkan dapat dijalankan oleh warga binaan yang mendapatkan program asimilasi dan re-integrasi setelah melalui prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Mekanisme pengawasan pun dilakukan secara intensif oleh pembimbing kemasyarakatan dengan menggunakan cara-cara pengawasan yang kekinian melalui media daring.
Program pembinaan dan pembimbingan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa dukungan dari semua pihak termasuk pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah dapat turut mengawasi dari pejabat yang paling dekat dengan masyarakat yaitu RT dan mendorong agar warga binaan pemasyarakatan yang sedang menjalani program asimilasi dan klien pemasyarakatan yang menjalani re-integrasi dapat berkontribusi dalam memajukan pembangunan daerah. Masyarakat pun diharapakan dapat memberikan kepercayaan serta dukungan moral agar meraka dapat kembali bermasyarakat.
Penulis : Albhi Aprilyanto,S.H.
Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Kelas II Sintang