Kabupaten Cirebon, BuserIndonesianews.com-Tanah timbul atau tanah tumbuh adalah tanah hasil endapan atau sedimentasi lumpur sebagai akibat dari banjir luapan dari air laut yang berhenti di suatu tempat dan kemudian muncul menjadi permukaan atau penimbunan tanah yang terbentuk baik secara faktor alam atau yang sengaja di lakukan oleh manusia guna menghubungkan jalur dari laut ke pemukiman warga.
Dalam bahasa Inggris tanah timbul ini disebut dengan istilah deltaber atau channelbar, di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan di dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul. Secara khusus terjadinya tanah timbul ini dapat diketahui dengan mempelajari Sedimentologi yaitu ilmu yang mempelajari sedimen atau endapan, sedangkan sedimen atau endapan pada umumnya diartikan sebagai hasil dari proses pelapukan terhadap suatu tubuh batuan, yang kemudian mengalami erosi, tertansportasi oleh air, angin, dan lain-lain, hingga pada akhirnya terendapkan atau tersedimentasikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang penatagunaan tanah yang menyatakan bahwa tanah timbul adalah tanah-tanah daratan yang terbentuk secara alami ataupun buatan karena proses pengendapan air laut.
Hal tersebut terdapat di desa Bandengan, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon. Daratan atau hamparan luas yang berasal dari tanah timbul hasil endapan ( sedimen ) air laut puluhan tahun yang lalu di pesisir mundu kini memiliki Luas kurang lebih 9 Ha.
Namun hal tersebut dipertanyakan masalah kepemilikannya oleh warga desa Bandengan itu sendiri, mengapa demikian? Sebab beberapa statement dari narasumber yang tidak mau disebutkan identitasnya mengatakan bahwa tanah tersebut dimiliki atau dikuasai oleh kuwu SOFYAN kuwu desa Bandengan dan akan segera diolah menjadi bangunan komersil. Karena statement itulah, akhirnya warga masyarakat desa Bandengan berbondong-bondong melakukan demonstrasi di kantor kuwu Bandengan pada tanggal 29 Oktober 2020 lalu.
Masyarakat menduga kuwu S memperkaya diri sendiri dengan menjadikan tanah timbul tersebut sebagai hak milik pribadi hasil dari menjabat jadi kuwu selama dua periode. Kuwu S Diduga menjalin kerjasama menguntungkan atau kongkalingkong dengan salah satu perusahaan developer atau perusahaan pengembang yang akan membangun tanah timbul tersebut. Berbagai orasi masyarakat disampaikan ketika mengadakan demonstrasi tersebut dan disaksikan oleh berbagai elemen masyarakat termasuk aparatur hukum negara.
” Kuwu S itu hanya mencari keuntungan diri sendiri, memperkaya sendiri dan tidak memihak pada para warganya dengan mengatasnamakan tanah timbul sebagai hak milik pribadi dan memagari tanah tersebut. Padahal itu sudah sangat jelas, kuwu mengetahui bahwa warga masyarakat desa Bandengan mata pencaharian utamanya adalah nelayan yang hanya mengandalkan hasil dari laut. Jika dipagari bagaimana kami akan mencari nafkah?” Ujar salah satu warga yang tidak mau menyebutkan identitasnya, ketika berorasi saat demonstrasi tersebut.
” Jika tanah tersebut diberikan kepada pihak perusahaan untuk dibentengi dan dipagari, apakah Kuwu S itu tidak memikirkan bagaimana nasib warga masyarakat desa Bandengan untuk kedepannya? Bagaimana dengan dampak bagi kami para nelayan dari perusahaan pemgembang yang akan membangunnya? Apakah kami akan sejahtera? Apakah kuwu dan rengrengannya sudah berfikir ke arah sana? ” tambah salah seorang warga yang berprofesi sebagai Nelayan di desa Bandengan
Apa yang dilakukan oleh kuwu S tersebut merupakan suatu hal yang sangat keliru, sebab tanah timbul merupakan tanah yang dikuasai oleh negara sudah tentu masyarakat juga ikut menguasainya. Pada intinya, tanah timbul tersebut berhak diolah atau dimanfaatkan oleh masyarakat namun bukan untuk dikuasai oleh orang pribadi, pihak-pihak dari perusahaan swasta atau perusahaan pengembang. Hal tersebut jelas tertuang dalm undang-undang, Karena Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dari pasal tersebut sudah sangat jelas bahwa tanah tersebut milik negara boleh untuk masyarakatnya bukan untuk perusahaan.
Bahkan masyarakat juga mengatakan dalam aturan dan undang undang.
Barang siapa yang ingin menguasai tanah tersebut harus mendapat persetujuan dari aparatur negara yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional. Jika ingin memiliki tanah tersebut maka sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Pengelolaan.
Namun ketika dikonfirmasi oleh awak media perihal kuwu yang membangun perbatasan tanah tanpa ada sosialisasi baik kepada tokoh ulama atau karang taruna, tokoh pemuda bahkan terhadap warga masyarakatnya sendiri , seakan kuwu bungkam dan menutupi hal tersebut. “Jadi wajar saja jika kami masyarakat menduga kuwu S memperkaya diri sendiri dengan melakukan hal tersebut.” ungkap salah seorang tokoh masyarakat yang ikut dalam demonstrasi tersebut.
Diwaktu yang bersamaan, kembali tim kami mencoba melakukan konfirmasi kepada kuwu Bandengan, S. Namun kali ini kuwu hanya menugaskan sekdes atau jurutulis untuk menerangkan perihal tersebut.
” benar adanya, itu adalah yang timbul yang terbentuk dari puluhan tahun silam, kini luasnya mencapai 9 Ha. Namun kami bukan mengklaim atau mengakui tanah itu tanah kami, kami hanya sebatas memagari tanah tersebut bukan untuk dibangun.” kilah kuwu S melalui jurutulisnya.
Apakah pernyataan kuwu dan jurutulis tersebut benar adanya? Entahlah yang jelas fakta dilapangan berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan kuwu melalui jurutulisnya. Bahkan ketika dimintai keterangan, baik pihak aparat bahkan perangkat desanya hanya bungkam tanpa berkomentar apapun.
( Mila/ Deni irawan )